Dunia Pendidikan

Fenomena Pendidikan
Oleh: Abdullah Suntani (Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Pada UIN Jakarta)


Prioritaskan Pendidikan; Moralitas dan Spiritualitas

Berbicara masalah pendidikan tidak akan ada habis-habisnya, karena manusia wajib menjalani pendidikannya sejak dia dilahirkan sampai dia masuk liang lahad, jasadnya larut ditelan bumi, dan rohnya kembali kepada sang pencipta; Allah SWT. Proses pendidikan terhadap manusia terjadi pertama kali ketika Allah SWT selesai menciptakan Adam Alaihissalam, lalu Allah SWT mengumpulkan tiga golongan mahluk yang diciptakan-Nya untuk diadakan Proses Belajar Mengajar. Tiga golongan mahluk ciptaan Allah dimaksud yaitu Jin, Malaikat, dan Manusia (Adam Alaihissalam) sebagai “mahasiswa” nya, sedangkan Allah SWT bertindak sebagai “Maha Guru” nya. Setelah selesai proses Belajar Mengajar (PBM) maka Allah SWT mengadakan evaluasi kepada seluruh mahasiswa ( jin, malaikat, dan manusia) dengan cara bertanya dan menyuruh menjelaskan seluruh materi pelajaran yang diberikan, dan ternyata Adam lah (dari golongan manusia) yang berhasil menjadi juara dalam ujian tersebut.

Pendidikan dalam bahasa Yunani berasal dari kata padegogik yaitu ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.

Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dengan demikian, pendidikan merupakan upaya menuntun anak sejak lahir untuk mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi alam beserta lingkungannya.

Nilai Mulia yang Terabaikan

Dalam pendidikan terdapat dua hal penting yaitu aspek kognitif (berpikir) dan aspek afektif (merasa). Sebagai ilustrasi, saat kita mempelajari sesuatu maka di dalamnya tidak saja proses berpikir yang ambil bagian tapi juga ada unsur-unsur yang berkaitan dengan perasaan seperti semangat, suka dan lain-lain. Substansi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah membebaskan manusia dan menurut Drikarya adalah memanusiakan manusia. Ini menunjukan bahwa para pakar pun menilai bahwa pendidikan tidak hanya sekedar memperhatikan aspek kognitif saja tapi cakupannya harus lebih luas. Dua aspek inilah yang harus dipahami secara mendalam, bukan dengan kecerdasan intelektual, tetapi hal tersebut menyangkut sensitivitas (emosi), dan nilai spiritual yang luhur.

Pendidikan saat ini, kurang bahkan sangat tidak memperhatikan aspek afektif (merasa), sehingga kita hanya tercetak sebagai generasi-generasi yang pintar tapi tidak memiliki karakter-karakter yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Sudah 60 tahun Indonesia merdeka, dan setiap tahunnya keluar ribuan hingga jutaan kaum intelektual, khususnya sanjanah kependidikan. Tapi tak kuasa juga mengubah nasib bangsa ini, hanya mementingkan tahta dan kepuasan perut semata. Maka pasti ada yang salah dengan sistem pendidikan yang kita kembangkan hingga saat ini, atau penyakit sosial (moralitas). keadaan seperti ini, tidak sejalan dengan substansi pendidikan yang membebaskan manusia (Ki Hajar Dewantara). Selain itu ada tindakan penyempitan makna dari pendidikan itu sendiri. Jika demikian kita harus merujuk kembali kepada ajaran tauhid, bukan doktrinisasi melainkan pencitraan kembali agar sendi-sendi pendidikan membawa maslahat untuk bangsa dan Negara.

Alquran sebagai wahyu dan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW selalu menjadi pusat sorotan karena daya pikatnya yang luar biasa. Keluarbiasaan Alquran itu terletak pada aspek-aspeknya antara lain bahasa dan gaya bahasanya, substansinya, keterjaminannya dari percampuran dengan bahasa manusia, jangkauannya yang tiada terbatas, dan multifungsinya bagi umat manusia.

Multifungsi Alquran itu terlihat pada ayat-ayatnya dan dikuatkan oleh Al-Hadits, yang menyebutkan bahwa Alquran adalah sebagai :

a) pedoman hidup yang harus dipegang erat oleh kaum muslimin;
b) petunjuk bagi umat manusia;
c) pembeda antara yang benar dan yang salah;
d) inspirator dan pemacu terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;
e) penyembuh bagi orang-orang mukmin;
f) rahmat (limpahan kasih sayang) bagi orang-orang mukmin;
g) pemberi peringatan bagi orang-orang yang lalai;
h) bacaan utama yang bernilai ibadah.

Berbagai penelitian dan pembahasan, baik yang dilakukan oleh pakar Islam sendiri maupun oleh orientalis menyimpulkan bahwa Alquran memiliki muatan yang universal bagi kehidupan umat manusia secara keseluruhan, salah satu di antaranya bagaimana konsep Alquran berbicara masalah pendidikan.

Kecendrungan Negatif

Walaupun saya bukanlah tipikal pelajar yang teladan , tapi saya sendiri sangat prihatin dengan etika dan kualitas pelajar sekarang ini, dan ironinya hal tersebut terjadi pula kepada prilaku seorang pendidik. Disini saya tidak membicarakan secara spesifik mengenai pendidik, tapi lebih kepada peserta didik, karena darinya pula akan terwarisi nilai pendidikan agar kelak tidak menjdi cerminan yang salah. Pelajar – pelajar sekarang (sebagian besar diantaranya) memiliki sikap tidak tahu malu dan cenderung cuek terhadap makna pendidikan. Sehingga banyak prilaku menyimpang; pergaulan yang terlalu “bebas”. Prilaku yang sangat jauh dari cerminan seorang anak didik, dan yang disayangkan lagi, prilaku pendidik yang “menyimpang”; tidak mencerminkan sebagai pendidik dan figure sosial.(Naudzubnillah)

Mengapa bisa begitu…? Apa lagi kalau bukan karena longgarnya perhatian orang tua (Tingkat Lanjutan), lemahnya kualitas kontrol wali kelas kepada anak – anaknya, dan pemahaman Agama yang minim, serta keimanan yang rapuh. Dengan secara langsung hal tersebut akan mengurangi mutu dan kualitas pelajar itu sendiri, bahkan bukan menjadi nilai ibadah, melainkan penyimpangan waktu dan hanya mencipta buih-buih dosa yang merugikan. (Ighfirdzunubi)

Maka pembangunan di bidang pendidikan haruslah diprioritaskan dalam pembangunan di Indonesia karena harus saling bersinergi dan sejalan. Meski demikian, walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi, suap menyuap dan tindakan-tindakan yang merugikan serta meningkatnya tindakan kriminalitas di negri ini. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur (Naudzubillah mindalik). Oleh karena itu, selain pendidikan dijadikan salah satu prioritas, tetapi harus disertai dengan pembinaan akhlak dan moralitas bangsa dalam pembangunan negeri ini.

(www.elmarhum.co.nr)

Tidak ada komentar: